
PERJALANAN YANG PALING PANJANG DAN PALING MELELAHKAN ADALAH PERJALANAN MASUK KE DALAM DIRI KITA SENDIRI.
Benarkah begitu?
Mungkin benar dan mungkin tidak, bergantung kepada sesorang dan anugerah Nya.
Tetapi, cara masuk ke dalam diri sendiri itu bagaimana agaknya?
Cara masuk ke dalam diri sendiri itu adalah dengan meniadakan keegoan dan hawa nafsu dan setelah itu dengan sendirinya pintu masuk ke dalam diri sendiri akan dengan sendirinya terbuka dengan izin Nya juga.
Kenapa kita selalu bermasalah untuk dapat masuk ke dalam diri sendiri?
Satu daripada jawapannya, mungkin karena kita masih mencampurkan rasa warna- warni ke dalam diri pada hal seharusnya pintu masuknya hanya satu warna, iaitu warna suci yang tersucikan.
Memangnya benar perkara ini mudah diucapkan, tetapi tidak mudah untuk dilaksanakan. Umpama jikalau tidak tahu pintu rumah dan kuncinya bagaimana mahu masuk kedalam rumah, kan sulit jadinya.
Bagaimanapun, jika difikirkan lagi, sebenarnya yang melelahkan itu ialah perjalanan di luar diri sendiri, kerana jalannya penuh batu dan onak duri sedangkan perjalanan ke dalam diri kita sendiri, jalannya cuma satu, iaitu, Allah.....Allah....Allah....Allah.....
Jalannya lurus yang tiada duri, cuma jangan membawa beban apa apa, apa lagi beban yang bukan punya kita, yang penting haqul yakin, bahawa itulah jalannya menuju Dia.
Sebaliknya, masuk ke dalam diri sendiri sangat panjang dan melelahkan
karena kita masih menjadikan nafsu amarah sebagai Tuhan manusia, karena manusia selalu menyekutukan Tuhannya, dengan selalu menjadi hamba bagi nafsu amarahnya.
Jadi bagaimana nafsu ketuhanan (muthmainah) akan menghampiri kita, jika nafsu yang tercela masih ada bersama kita, sudah tentu tidak akan berhasil.
Oleh kerana itu, kita harus bekerja keras untuk selalu memperbaiki kualiti diri sendiri untuk dapat dengan mudah masuk ke dalam Diri yang Sebenarnya.
Biasakan jiwa menjadi tenang, semua kejadian kembalikan kepada Allah, segala tindakan dan ucapan dalam keadaan tenang, kalau ada nafsu amarah, ambil air wudhu.
Dia amat dekat.
“Jika hamba-hambaku bertanya padamu tentang aku, aku adalah dekat. Aku mengabulkan seruan orang memanggil jika dia panggil Aku”.
Kata doa yang terdapat dalam ayat tersebut, oleh sufi diartikan bukan berdoa dalam arti yang lazim dipakai. Kata itu bagi mereka adalah mengandung arti berseru atau memanggil.
Tuhan mereka panggil dan Tuhan melihatkan diriNya kepada mereka. Dengan perkataan lain, mereka berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diriNya kepada mereka.
Al-Baqarah: 115: “Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka ke mana saja kamu berpaling di situ wajah Allah.”
Kaum sufi menafsirkan ayat ini dengan di mana saja Tuhan ada, dan di mana saja Tuhan dapat dijumpai. Sehingga untuk mencari Tuhan tidak perlu jauh-jauh, dan Tuhan dapat dijumpai di mana saja dan Dia selalu ada.
“Sebenarnya, Kami ciptakan manusia dan kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepadanya dari pembuluh darah sendiri yang ada dilehernya”.
Para ahli tasawuf menafsirkan ayat itu sebagai gambaran bahwa untuk mencari Tuhan tidak perlu pergi jauh-jauh. Untuk itu ia cukup kembali ke dalam dirinya sendiri.
Mereka memperkuat penafsirannya itu dengan mengutip kata-kata yang masyur ini,
“Siapa yang mengenal dirinya maka mengenal ia Tuhannya.”
Oleh itu, Untuk menemukan pintu masuk ke dalam diri yang sebenarnya Diri, tiada lain kita harus memanifestasikan sifat dan rasa ketuhanan dalam perilaku dan ucapan kita dalam semangat Rahman dan Rahimnya.
Kuncinya cuma satu iaitu mati (sebelum mati).
Dengan cara begitu kita diharapkan dapat masuk ke alam fikiran yang bersih dan suci.
Sadarilah bahwa kita telah banyak membuang waktu untuk suatu PERJALANAN yang teramat jauh, guna menempuh suatu jarak yang teramat dekat, iaitu mempertemukan fitrah AKAL dan QALBU, untuk ditempatkan TEPAT dan TETAP di tengah DIRI PRIBADI SEJATI.
Yang membuat perjalanan ini menjadi terasa jauh itu kerana adanya barzah (pengantara) contohnya, di antara hidup dan mati ada sakara al maut, di antara dunia dan akhirat ada alam barzah, di antara langit dan bumi ada ufuk, di antara lautan dan daratan ada muara, di antara lahir dan bathin ada akal fikiran, di antara Allah dan hamba-Nya ada Rasul, di antara muthmainah dan ammarah ada lawwamah, di antara ruhani dan jasmani ada jiwa.
Nah, semua hal yang ada di antara dua hal itulah yang membuat seolah-olah di antara keduanya itu jadi ada jarak yang jauh. Jarak yang membuat kita jadi sering merasa jauh dan kadangkala sering merasa dekat, tetapi jarang sekali merasa bersatu (menjadi satu) di dalamnya.
Jikalau kita udah tahu semua rahasia alam duality, pasti akan tahu di tempat yang manakah ia harus berdiri, harus duduk, harus diam atau harus berada. Sesiapa yang tidak pernah dan tidak mahu melepasi alam dualiti dan tidak sungguh-sungguh membuka tabirnya, maka ia tidak akan pernah tahu rahasia Allah.
Jalan-jalanlah di alam dualiti itu sering-sering, terus amati karakteristik keduanya, dan pasti kita akan tahu ada garis pembatas (barzah) di antara keduanya itu.
Nah, di garis pembatas itulah tempat duduk, berdiri, berdiam dan tinggalnya kita yang baik. Contohnya, di antara kedua hal, seperti garis yang menghubungkan dua samudera, atau titik di antara dua busar panah.
Sepanjang kita masih mendualitikan fikiran dan akal kita, kita tidak akan pernah dapat masuk dengan mudah ke dalam diri yang sebenarnya, karena diri itu hannya satu, suci lagi mensucikan.
Jadi walaupun kita setelah mengenal diri bukan berrarti kita dengan mudah dapat masuk ke dalam Yang sebenar Diri. Karena belum ada jaminan seseorang yang telah mengenal diri otomatik dia akan menegenal Tuhannya.
Kenapa?
Tuhan itu Dzat yang suci dan dia tidak mahu terkotori dengan pakaian nafsu.
Ketika kita tidak lagi merasakan keakuan dan keegoan, tanpa disadari yang gelap semakin terang, yang jauh semakin dekat, menjadi satu.
wassalam
T/kasih...
ReplyDelete